.........
Dilan
mungkin tidak paham bagaimana seharusnya memperlakukan wanita, tapi dia tahu
bagaimana membuatku merasa istimewa. Tidak perlu berlebihan bagi dia untuk
membuatku merasa lebih. Dia mungkin bukan lelaki sejati, tapi aku butuh lelaki
macam itu. Dia mungkin bukan tipe lelaki yang kamu idamkan, tapi biarlah aku ingin
memilihnya.
Sekarang,
mudah-mudahan kamu maklum, mengapa aku cemas, ketika tahu dia akan menyerang
SMA lain. Aku tak ingin terjadi apa-apa dengannya. Meskipun dia pasti akan selalu
di hatiku tetapi aku juga tak ingin dia hilang dari muka bumi ini, kalau iya,
nanti aku sunyi, nanti aku sedih.
Jadi ingat dengan apa yang pernah
Dilan katakan di telepon:
"Kamu pernah nangis?",
kutanya
"Waktu bayi, pengen
minum".
"Bukan ih! Pas udah besar.
Pernah nangis?"
"Kamu tahu caranya supaya aku
nangis?", dia nanya
"Gimana?"
"Gampang"
"Iya gimana?"
"Menghilanglah kamu dari
bumi"
Sekarang
Dilan sedang tidur. Aku harus tetap di sini, kalau perlu mungkin sampai magrib.
Pokoknya jangan sampai aku pergi, supaya bisa nahan Dilan jangan sampai dia
pergi. Tadi, sudah kutelpon si Bibi, tolong bilang ke ibu, Lia ada urusan, baru
magrib bisa pulang.
---
Nyatanya
aku baru pulang pukul tujuh. Tapi ga apa-apa, karena bunda sudah nelepon ibuku.
Aku pulang diantar Dilan, naik motor dan pake jaket Army Korea punya Dilan.
Menyusuri jalan Ciwastra yang sepi. Melewati Pasar Gordon yang masih banyak
orangnya. Melewati terminal bemo Sekelimus. Melewati Buah Batu yang bau wangi
oleh sebuah pohon kemuning yang ada tumbuh di pinggir jalan di daerah sebelum
apotik. Pohon itu, mudah-mudahan masih ada.
Sebelum
pukul delapan kami sudah sampai di rumahku. Di ruang tamu sudah ada Kang Adi,
lagi ngajarin Airin. Kami masuk setelah memberi salam. Airin yang buka pintu.
"Kenalin, Kang! Dilan",
kata saya ke Kang Adi, terus duduk. Airin juga duduk lagi di sampingku
"Hey!", seru Dilan,
bergegas nyamperin Kang Adi untuk ngajak salama
"Dilan!", sambungnya.
"Adi", kata Kang Adi,
sambil masih tetap duduk
"Silakan duduk", kata Kang
Adi lagi.
"Makasih", kata Dilan
sambil duduk
"Ini pasti Melati?", kata
Dilan lagi sambil nunjuk Airin
"Bukan!! he he he", kata
Airin
"Ini, namanya Airin",
kataku sambil meluk Airin
"Jago main piano, Lan".
"Wow. Keren!", seru Dilan
"Sedikit", kata Airin
"Kita nyanyi oke?", ajak
Dilan
"Dilan kan bisa gitar. Nah,
main bareng. Dilan yang ngegitarnya", kataku
"Ada gitar?", tanya Dilan
"Ada. Gitar ayah. Nanti
kuambil", kataku
"Tapi harus belajar dulu. Lia
juga", kata Kang Adi.
"Ini Dilan yaaa?",
tiba-tiba ibu datang
"Lan, ini Ibu Lia", kataku
"Eh?", Dilan berdiri dari
duduknya.
"Iya. Bu"
"Akhirnya ketemu Dilan
ya", kata ibu senyum
"He he he kayak yang pernah
hilang", jawab Dilan
"He he he. Bukaaan! Lia kan
suka cerita kamu. Penasaran kayak gimana sih?", kata Ibu
"Kayak gini aja. Masih orsinil.
Belum dimodif", jawab Dilan
"He he he"
"Tadi Lia ketemu Bunda,
Bu", kataku ke ibu
"Iya. Tadi Bunda nelepon. Dilan
mau minum apa?", tanya Ibu ke Dilan
"Apa ya? Gak usah repot-repot. Air
zam-zam aja, Bu", kata Dilan
"Ha ha ha ha ha Itu
merepotkan!", aku ketawa. Bunda juga. Airin juga. Kang Adi kulihat dia
tidak.
"Apa dong?", tanya Dilan
seperti bingung
"Atau bikin sendiri?
Ayo?", tanya Ibu
"Iya. Bikin sendiri aja",
jawab Dilan
"Iya silakan", kata Ibu
"Aku bantuin! Tapi ganti baju
dulu", kataku sambil lalu berdiri.
"Mandi dulu", kata Ibu
"Iya".
"Kang, mau dibikinin?
Spesial", tanya Dilan ke Kang Adi sambil berdiri
"Gak. Ga usah. Nanti bikin
sendiri", jawabnya
"Ke dapur aja ya", kata
Ibu sambil dia pergi masuk.
Aku
dan Dilan nyusul. Di kamar, aku cuma ganti baju. Mandinya nanti aja, gak sabar
ingin ke dapur bantuin Dilan. Pas ke sana sudah ada si Bibi, Ibuku dan Dilan,
sedang pada ketawa sambil membuat minuman jahe. Perasaan, di jaman dulu, kalau
gak salah, di tahun 90an, di rumah-rumah di Bandung, orang-orang masih pada
suka membuat minuman jahe. Juga masih ada tukang Bandrek, Sekoteng dan Bajigur
yang suka lewat depan rumah. Entah kalau sekarang.
"Bi, ini Dilan", kataku ke
si Bibi
"He he he. Udah, tadi,
kenalan", kata Dilan yang sedang duduk di kursi dan malah mainin jahe yang
ada di atas meja, bukannya ngebantuin
"Ini, Bu. Dilan suka ngajak
ngobrol si Bibi nih", kataku ke si Ibu sambil duduk di kursi berhadapan
dengan Dilan, ikut mainin jahe
"He he he. Ngobrol apa?",
tanya Ibu
"Ngobrol apa, Bi?",
tanyaku ke si Bibi yang lagi numbukin jahe yang sudah dibakar oleh ibu dengan
api dari kompor
"Banyak hi hi hi. Mau ngajarin
Bibi ngomong bencong. Ngajarin tidur kayak ikan. Aneh-aneh he he he", kata
si Bibi
"Ha ha ha. Tuh ajarin!",
kataku ke Dilan
"Bikin apa?", tanya Airin
yang datang ke dapur
"Jahe", kata Ibu,
"Udah kamu belajar aja"
"Bosen", kata Airin sambil
seperti mau bantuin si Bibi
"Ibu?", tiba-tiba Dilan
nanya
"Ya, Dilan?", tanya Ibu
"Kenapa anak ibu
cantik-cantik?", tanya Dilan
"Iya dong. Kan ibunya juga
cantik he he", jawab Ibu
"He he he Iya", Dilan
ketawa
"Itu yang namanya Kang
Adi", bisikku ke Dilan. Aku kuatir dia cemburu. Atau tidak. Entahlah.
"Iya. Ganteng", jawab
Dilan
"Ih! Kamu suka?", tanyaku
"Kalau dia mau. Oke",
jawab Dilan
"Ha ha ha ha mau ke kamu
maksudnya?", tanyaku lagi
"Mudah-mudahan mau", jawab
Dilan
"Kenapa?", tanyaku
"Biar enggak ke kamu",
kata Dilan
"Ha ha ha. Dia pengen ke
aku", kataku ke Dilan masih dengan suara berbisik
"Aku pengen ke dia", kata
Dilan
"Ih, serius", kataku
"Kalau ada yang mau ke kamu,
udah biasa kan? Banyak. Gak usah diceritain"
"Tapi aku gak mau ke dia",
kataku
"Kalau ada yang gak mau ke dia,
udah biasa kan? Banyak", kata Dilan
"He he he kamu kan mau?",
tanyaku
"Kenapa kamu gak mau?",
Dilan balik nanya
"Gak mau aja"
"Maunya ke siapa?", tanya
Dilan lagi
"Ke...Iiiiiih. Perempuan gak
suka ditanya", kataku masih bersbisik
"Kamu maunya ke aku", kata
Dilan dengan santai
"He he he"
"Apa ini pada ketawa gak ngajak-ngajak",
kata si Ibu, sepertinya minuman jahe sudah siap disajikan
"Bu, kayaknya Lia gak belajar
ah malam ini?", kataku ke Ibu
"Ya bilang dong ke Kang
Adi", kata Ibu
"Iya", jawabku
Bi
Asih membawa minuman jahe ke ruang tamu. Ibu juga pergi ke sana bersama Airin.
Aku masih duduk dengan Dilan di dapur. Kedua tangan Dilan tiba-tiba memegang
dua tanganku.
"Doain, Lia", katanya
"Doain apa?", tanyaku
setelah sekilas tadi melihat gerakan tangan Dilan mengelus jemariku. Mendadak
perasaanku seperti dilanda sesuatu yang sungguh sulit kuungkapkan.
"Doain, Kang Adi gak mau ke
aku....", jawab Dilan dengan suara berbisik. Kedua tangannya masih
memegang kedua tanganku. Dia lakukan dengan sikap seolah-olah baginya, itu
adalah hal biasa, padahal sungguh, demi Tuhan, baru malam itu ia lakukan dan
aku nyaris gak percaya.
"Ih! Katanya tadi mau?",
kataku, dengan isi kepala yang terus mikirin tangan Dilan yang masih megang
tanganku
"Udah berubah...", kata
Dilan
"Dilan! Lia!", Ibu manggil
kami dari ruang tamu
"Iya, Bu. Bentar", aku
teriak menjawabnya
"Gimana kalau kang Adi mau ke
aku? Aku takut!", tanya Dilan berlagak seperti orang yang ketakutan. Kedua
tangannya masih mengelus dua tanganku. Sungguh, aku bingung. Serius. Ini apa?
Di saat tangannya begitu mesra memegang tanganku, tapi yang ia bahas justeru
malah soal Kang Adi.
"Liiiiiiaaaa", Ibu manggil
lagi
"Iya, Bu! Ke sana yuk?",
ajakku ke Dilan
"Takut, ada Kang Adi",
kata Dilan berbsisik, tangannya masih memegang tanganku
"Biar, sekarang giliran aku
melindungimu he he he"
"Jadi tenang", kata Dilan
"Ha ha ha"
Aku
dan Dilan berlekas pergi dari dapur dengan tangan saling bergandengan, dan lalu
dilepas sebelum sampai ke ruang tamu.
"Lindungi aku, Lia", bisik
Dilan seperti orang merengek
"Siap!", jawabku sambil
senyum memandang matanya. Lalu kami duduk bersama Airin, Ibu dan kang Adi yang
nampak bingung dia harus bagaimana.
........